Rabu, 25 April 2012

cerpen_galau


Galau
Ku resapi serpihan-serpihan rasa yang kini membelengguku. Menorehkan segudang kekecewaan kala ku temui langkahnya. Andai ia tau, aku terus menatap setiap jengkal bahasa tubuhnya. Menunggunya melambaikan hatinya.
Sungguh tak kuasa diriku tuk terus membisu. Menyimpan segala asa, rasa, dan kata yang ingin kubisikkan pada satu hati yang terhimpit di palung jiwaku. Hati yang tak pernah tahu apa yang tersirat di sudut asa ini. Disini, aku terus menggamit rasa yang tak pernah tersampaikan. Menatap nanar setiap liku-liku wajah kehidupan yang selalu mengibaskan rentetan khayalku. Tak  cukupkah pengibaanku di setiap lirih desahku? Masih haruskah kuurai air mata yang telah kering oleh perihnya ketakberdayaan?
Galau masih saja menikam setiap detik lajur waktu yang ku punya. Menghadirkan tanya yang tak sempat  terjawab oleh hembusan angin. Aku masih saja membisu. Kurasa kebisuan panjang  telah bersemayam dalam ragaku yang telah rapuh ini. Dalam setiap kata yang terucap, terlalu lelah tuk hadirkan senyuman. Dalam setiap canda yang mengalun, telah lenyap tawa yang menggema. Tak tahukah ia, makna dari kebisuan panjangku ini?
Waktu masih berputar pada lorong-lorong episode yang terus saja menggamit sekelumit tanya. Mengarungi setapak harap demi harap. Harap yang tak pernah berubah dan tak bertuan. Namun, samakah yang kini membenak dalam hatiku dengan yang tersirat dalam senyumnya? Sepertinya tidak. Kutahu itu. Namun aku masih terus saja menapaki jengkal harapan ini. Bodohkah aku? Sepertinya begitu. Namun, tak kurasakan kesia-siaan menelusup dalam penantian ini.

Di waktu yang berbeda, namun jarum jam masih melintasi putaran yang sama seperti waktu-waktu yang terlewat. Pukul 06.00 WIB. Setelah kurasa siap dengan seragam abu-abu putih dan berselempangkan ransel  hitam, kusisipkan do’a dan helaan nafas panjang pada pagiku. Semoga hariku indah, seperti pagiku ini. Aku siap merangkai langkah menuju gerbang penentu masa depanku. Menapaki sudut penggalan pengalaman hidup yang harus kulalui.
Tanpa menelan apapun pagi ini, selain beberapa teguk air tuk menciptakan energi, kuulurkan tanganku menyalami tangan kekar ayah. Mengulum senyum dan mengucap salam. Ayah membalas senyumanku lalu membalas salamku. Senyumnya tak pernah luput dari makna. Dalam senyumnya, tersirat harapannya yang ia gantungkan padaku. Memberiku sebuah keyakinan untuk terus melangkah kedepan. Merajut mimpi-mimpi indah kecilku bersama ayah. Dalam hati selalu kubisikkan, “aku sayang ayah, takkan kubiarkan senyum itu menghapus raut bibirmu, ayah”
Ibuku telah menungguku dibawah. Ia akan mengantarku menuju persimpangan jalan tempatku menghadang bus jalur 2 yang selalu aku tumpangi setiap pulang maupun berangkat menuju sekolahku, sekalian menuju tempatnya mengajar. Ya, dia mengajar di sebuah SMA di jogja. Namun, aku tak memilih tuk memasuki sekolah tempat ibuku bekerja. Tak menarik. Kurasa.
Sesampainya di persimpangan jalan Parangtritis, aku turun dari sepeda motor lalu menyalami tangan ibuku seraya mengalunkan salam, do’a keselamatan. Tak lupa senyum yang selalu kuukirkan pada di wajahku kala aku bertatap muka padanya. Selanjutnya, aku menunggu bus datang, dan ibuku melajukan motornya ke arah jalan menuju sekolahnya. Seraya menunggu, fikiranku terus saja berputar entah kemana. Menerawang setiap apa yang ada dihadapanku. Menerawang kedepan, seolah ia akan berjalan seperti yang kuharapkan. Namun aku sadar, semua tak selalu seperti yang kita harapkan. Tak akan ada yang tahu, ia akan beranjak kemana. Namun, aku terus saja menerawangnya kedepan, kearah yang lebih baik dari kini, kurasa fikiran positif akan memberi kekuatan untuk meniti harapanku.
Tak lama setelah kepergian ibu, bus jalur 2 tampak dari kejauhan. Segera aku melangkah ke tepi trotoar dan melambaikan tangan sebagai isyarat keinginanku menaikinya. Bukan keinginan, namun keharusan menaiki bus itu, jika tak ingin terlambat sampai di sekolah. Bus yang kunaiki berjalan pelan. Dari satu tepian jalanan menuju tepian yang lain. Menurunkan maupun mengangkut para konsumen jasa mereka. Jasa mereka sangat berarti. Tanpa ada bus dan sopirnya, mana bisa aku sampai gerbang sekolahku yang jaraknya cukup jauh itu? Dengan menaiki bus saja, sudah memakan waktu setengah jam, bagaimana kalo harus berjalan atau bersepeda? Tak bisa kubayangkan. Mungkin aku enggan bersekolah jika tak ada orang-orang berjasa seperti mereka. Sungguh, sebenarnya mereka patut dihargai atas jasa-jasa yang mereka persembahkan kepada kita. Namun, kebanyakan orang memandang mereka rendah. Memandang mereka hanyalah seorang sopir bus angkutan kota. Anggapan yang sangat kejam.
Kududuki bangku yang masih kosong didalam bus itu. Melepas tas lalu memeluknya dipangkuanku, layaknya boneka. Merapat kesamping jendela bus untuk mengedarkan pandangan kearah jalanan yang cukup padat dan menyaksikan mereka dengan kesibukannya masing-masing dari balik kaca yang sedikit terbuka ini. Semilir angin menerpa wajahku. Udara basah pagi ini membawa dingin yang tak seberapa dibandingkan dingin yang menusuk tulang kala malam menyembul. Angin pagi masih terasa sejuk di kota semi metropolitan ini. Harus kusyukuri, masih bisa merasakan hembusannya yang memberi ketenangan padaku di setiap pagiku.
Roda bus menapaki jalanan penuh misteri. Hingga sampailah pada persimpangan bundaran UGM. Aku berhenti disitu, turun di lajur kiri lalu berbelok arah kiri, berjalan lurus 100 meter, menyeberang jalan C. Simanjuntak dan sampailah pada tempat yang setiap pagi ku singgahi. Terkecuali hari libur. MAN Yogyakarta 1. Memasuki gerbang bercat hijau tua lalu bertemu pak Pras di depan pos satpam, kadang menyapa kadang diam saja. Itu semua sudah menjadi rutinitas harian di setiap ku langkahkan kakiku menuju sekolah ini.
Selepas mengantri absen elektronik di lantai bawah, bergegas kunaiki anak tangga satu persatu. Hingga puncak anak tangga tergapai. Menemui dua persimpangan, kelasku tepat berada di belokan kiri pintu pertama. Kelas X B. kita sering menyebutnya T.B.C “ten B crew” kelas yang akan mengukir sejarah awal masa-masa baru aku menginjak SMA. Menyimpan segala peristiwa yang tak selalu mampu lagi tuk diingat. Kuucap salam ceria khasku ketika kakiku siap melangkah masuk.
Pandanganku spontan tertuju pada bangku di sudut selatan itu. Benakku selalu diliputi tanya, “apa dia sudah ada disana?”. Ya, dia selalu datang lebih awal dariku. Wajar saja, dia tinggal di asrama yang masih satu yayasan dengan yayasan sekolah ini. Asrama itu pun letaknya tak seberapa jauh dari sekolah. Hanya belakang sekolah  saja. Tak sampai 5 menit pun dia bisa sampai dikelas ini.
Ketika aku melirik ke arahnya, tatapannya tak pernah berbeda. Selalu sama. Selalu seperti itu. Dan selalu tak memiliki makna tersirat. Terbesit sekelumit kecewa. Namun, tak apalah. Tak begitu kujadikan masalah.
L
Akhir-akhir ini aku merasa ada yang berbeda dengannya. Aku dan dia tak sedekat dulu. Juga tak seakrab dulu. Mungkin ini gara-gara aku yang beberapa hari terakhir ini berusaha menghindar darinya. Bukan karena aku benci atau apapun. Kau tahu mengapa? Karena aku tak ingin lebih terperosok pada lubang rasa yang tercipta dengan sendirinya semenjak aku mengenalnya di awal masuk pelajaran. Ya, mungkin memang harus kuakui pada diriku sendiri, bahwa aku tak bisa memungkiri ingin selalu bersamanya, tertawa maupun sedih juga bersamanya. Namun, tak cukup bagiku jika hanya sekedar teman biasa.
Aku tak mampu membendung rasa lebih lama, namun aku pun tak kan sanggup mengatakannya. Tak bisa ku elakkan lagi. Aku ingin memilikinya. Tapi kurasa itu tak mungkin. Aku telah bersamanya (kekasihku), dan dia telah memilikinya (kekasihnya).  Kurasa hanya satu jalan ini yang mampu kutempuh. Menghindarinya dan menghalau hasrat tuk lebih dekat lagi dengannya.
Namun yang terjadi tak seperti yang ku inginkan. Kurasa dia telah memiliki banyak teman yang lebih mampu mengisi harinya dibandingkan diriku. Dia tak menyadari perubahanku, sedangkan dia terlihat lebih nyaman-nyaman saja semenjak aku memutuskan tuk menghindar darinya. Sungguh perih rasanya. Andai dia tahu, aku tersakiti karenanya. Namun, apa peduli dia? Tak ada yang harus ia pedulikan. Karena sesungguhnya aku sendiri yang menyakti diriku dengan menghadirkan perasaan yang tak sanggup terbiaskan oleh kebisuan. Kurasa, tindakan bodohku ini hanya akan berujung pada kekecewaan. Ya, aku tak tahu apa yang akan terjadi esok. Namun ku yakin, tak ada akhir yang buruk. Semua akan baik2 saja. Hiburku pada diriku sendiri.
Kujalani hariku tanpa gairah tuk melahap ilmu-ilmu yang kini disodorkan satu persatu guru yang memasuki kelasku. Moodku tak ingin sedikitpun melirik apa yang ada di papan tulis maupun yang terlontar dari ucapan guru-guru hari ini. Selalu begitu. Aku terlalu tunduk pada mood yang selalu berubah-ubah tanpa melihat apa yang sedang terjadi di sekitarku. Namun, aku tak berdaya untuk tak menggubris mood yang sedang kacau seperti ini. Ragaku tak pernah mampu berdiri sendiri tanpa ada jiwa yang menopang. Hingga akhirnya hari ini tak kudapati apa pun tuk bisa kubawa menuju gang-gang kecil tak berujung yang membelit-belit  di otakku. Tanpa gairah, tanpa senyuman darinya bahkan tanpa sapaan lewat via sms darinya yang memintaku agar tak segera pulang. Bukan hari yang indah.
Aku teringat suatu hari. Saat kulihat satu tatapan yang berbeda dari sorotan matanya. Tepatnya hari Jum’at setelah latihan pramuka rutin dihari pertama. Usai latihan, seperti biasa, semua anggota pramuka berkumpul untuk evaluasi. Selepas itu aku bergegas pulang. Kuambil ransel hitamku yang kuletakkan didalam sanggar pramuka. Lalu tak lama setelah ransel melekat di punggungku, kulangkahkan kaki keluar dari gerbang. Sempat aku menoleh padanya. Dan dia pun sedang melihatku dari sana. Kualihkan pandanganku dengan cepat. Kurasa, tatapanya berbeda. Entah apa yang tersirat dari sorotan mata itu. Namun, aku mampu merasakan yang janggal dari tatapannya.
Tak lama setelah aku melangkah dari gerbang, ia mengirimiku sebuah pesan “langsung pulang?”
Ku jawab “iya. Kenapa? Masih ingin bertemu denganku?” aku mengirimnya disertai tawa panjang.
“iya.hahahahaha” jawabnya
Dia berkata iya? Aku melayang tinggi bak setinggi angkasa luas jagat raya ini. hanya dengan kata ‘iya’, hatiku merasa tergelitik dan ingin rasanya terus tersenyum di perjalanan pulangku. Namun aku tak ingin disangka gila, kuhentikan senyumku. Tapi hatiku tak bisa berhenti tersenyum.
Kutegaskan lagi pada diriku sendiri, itu kemarin. Kemarin sebelum aku menghindar darinya. Kemarin sebelum ia menjadi seperti sekarang. Sedang sekarang, yang tampak hanya tatapan-tatapan datar saja.  Ya sudahlah, ini jalan yang kuambil, aku harus menerima apapun yang terjadi karena ini pilihanku.
Sekarang. Detik ini dan detik-detik yang akan terlewati nantinya, aku tak tahu langkah apa yang harus kutapaki. Namun aku terus berbisik pada hatiku, ‘semua akan baik-baik saja.’ Jika Tuhan menginginkanku bersamanya, Dia akan mempertemukanku dengannya dan dengan cara yang lebih indah dari pertemuan awalku. Aku yakin itu.

Jogja, September ‘11st


0 komentar:

Posting Komentar