Rabu, 25 April 2012

cerpen_lukisan kehidupan


Lukisan Kehidupan
Malam yang dingin. Hampa juga pastinya. Seolah aku hidup dalam ruang hampa tanpa satu sosok pun manusia lain menemani malam panjangku ini. Angin malam sepertinya sanggup menemaniku dengan hembusannya yang sepoi-sepoi hingga menembus ventilasi kamarku. Sesekali ia menerbangkan gorden jendela yang sengaja kubiarkan terbuka salah satunya.
Kupandangi jam dinding yang kurasa telah menyatu dengan dinding bercat biru kamarku. Pukul 18:35. Hufft!! Membosankan sekali meringkuk di kamar seperti ini. Terlebih, tanpa aktivitas yang harus kukerjakan. Lebih tepatnya, ingin kukerjakan. Yahh, sebenarnya bisa saja malam ini aku mengerjakan beberapa tugas yang teronggok di atas meja belajarku atau melampiaskan kesepianku ini dengan berfacebook ria. Namun, semua itu tak sedikit pun ingin kulakukan. Kurasa, lebih baik meringkuk di sudut kasur bertemankan selimut tebal dan guling empuk yang usianya hampir setengahnya usiaku. Kau tahu? Ini guling tersayangku sejak aku berumur 7 tahun. Walaupun sudah sangat kucel, aku tetap tak ingin mengganti guling ini dengan yang baru.
Entah kenapa, ia begitu berarti bagiku. Mungkin, karena setiap aku kehilangan pegangan, aku selalu mendekapnya, membenamkan wajahku padanya, dan menangis bersamanya. Ia menjadi saksi bisu tentang segala perjalanan hidupku selama ini. Termasuk, hubunganku yang akhir-akhir ini putus-nyambung putus-nymbung dengan pacarku, Alby. Tiba-tiba aku merasa sangat merindukannya.

Terakhir kali, dia memintaku untuk kembali padanya. Aku mengiyakan permintaan itu. Namun, beberapa hari setelah itu, aku jarang kontak dengannya. Apalagi jalan. Memang kelihatannya aneh. Aku pun merasa aneh juga. Tak ubahnya seperti orang yang tak memiliki pendamping hati. Tapi tak apalah, tak begitu menjadi masalah bagiku.
Tok tok tok.. pintu kamarku terketuk. Entah siapa itu.
“Masuk!!” kataku dengan sedikit berteriak
Cklekk.. pintu terbuka. Zizi, adik terkecilku nongol.
“Kak, dicari temennya tuh!!” ujarnya dari dekat pintu. Seketika, aku tergagap. Siapa? Pikirku.
“Siapa za?” tanyaku,
“Ya nggak tahulah kak!” Zizi bersiap-siap mau keluar.
“Eh, cewek apa cowok?”
“Cewek”
Hufft!! Aku mendengus, aku sedikit berharap Alby yang datang di malam minggu ini. Jadi teringat kata-katanya dulu, “Ketika kamu merindukanku, saat itu juga aku merindukanmu” malam ini, aku sangat merindukannya, apa dia merindukanku juga ya? Tanyaku pada diriku sendiri. Kemudian aku bergegas menemui entah siapa. Yang pasti dia cewek. Seperti kata Zizi tadi.
“Haii.. ternyata kamu fa, kirain siapa” ujarku begitu menemukan sesosok cewek berperawakan tinggi besar bersandar pada sofa di ruang tamuku.
“Haii juga.. malam minggu ini nggak ada kencan kan fa” Tanya ufa, teman satu kelasku yang rumahnya tak jauh dari rumahku
“Nggak sih, memang kenapa?”
“Keluar yuk” ajaknya
“Hah? Kemana? Siip.. mau mau mau.. bentar yaa.. ganti dulu lah, ayo ke kamarku aja”
Aku langsung beranjak masuk kamar dan memilih beberapa baju yang layak ku kenakan malam ini. Akhirnya, aku memilih celana pensil abu-abu dan baju joger biru oleh-oleh ibuku dari bali. Sebagai pelengkap, kukenakan tas ransel model serut gambar doraemon, kartun kesayanganku dan sepatu putih bermotif garis-garis horizontal. Sepertinya, aku siap untuk acara malam minggu ini. Walaupun tidak bersama pacarku, setidaknya malam minggu ini tak menjadi malam minggu yang kelam bagiku.
“Aku siap.. aku siap..” kataku sembari menenteng sepatu dan tas. Menirukan gaya bicara spongebob squarepants, si kuning yang tak pernah sial. Karenanya, Ufa tertawa melihat gayaku bicara.
“Kebiasaan kau zil..” katanya masih dengan sedikit tawanya.
“Hehe, ya sudah yuk, buruan kita lets go!! Eh, tapi kita mau kemna nih?” tanyaku sembari memakai sepatu tanpa kaos kaki.
“Oke, ke alkid, gimana?” tawarnya sembari kita berjalan ke ruang depan.
“Hm.. boleh juga, lama aku nggak main kesitu”
Setelah aku berpamitan dengan ibuku yang sedang berada di ruang kerjanya (maklum, wanita karir harus memiliki ruang kerja sendiri). Kita bergegas pergi. Mengendarai motor matic milik Ufa. Sebenarnya aku pun memiliki motor sendiri, tapi sepertinya lebih seru jika berboncengan saja dengan Ufa.
Jalanan menuju ke alkid alias alun-alun kidul, lumayan padat. Wajarlah jika malam-malam jalanan di kota ini macet, terlebih malam minggu seperti ini. Apalagi siangnya. Tak akan lagi ditemukan udara tanpa polusi disini. Tapi tidak di semua tempat. Di kotanya saja, dan di jalan-jalan besarnya saja. Selebihnya, kurasa masih segar-segar saja udaranya. Walaupun tak sesegar di pedesaan pastinya.
Setelah memarkir motornya di tepian jalan sekeliling alkid, aku dan Ufa mulai berkeliling ria, melihat di sekeliling kita yang kebanyakan adalah dua sejoli yang sedang memadu kasih dengan para pendampingnya. Kita pun juga dua sejoli, tapi jangan salah kira, kita bukan pasangan kekasih. Gila saja jika itu terjadi.
Sepertinya alkid memang pilihan paling tepat untuk berpadu kasih. Jadi tak ayal lagi jika tempat ini banyak dipadati oleh mereke mereka yang membutuhkan tempat untuk berduaan. Aku jadi ingin mengajak Alby kesini lagi kapan-kapan. Terakhir kali aku pergi bersamanya di depan monument SO 1 maret. Itupun sepertinya sudah bulan kemarin.
Akhirnya, kusadari telah lama waktu terbuang tanpa dia di sisiku. Rindu yang tadi tercipta, kini hadir kembali, semakin rindu rasanya. Aku menghela napas tuk menghalau rasa rindu itu dan kembali menikmati malam ini bersama Ufa.
“Zil, Anzil, naik itu yuk, pengen deh..” Ufa mengajakku menaiki sepeda yang berhiaskan lampu-lampu kecil berwarna-warni yang banyak ditemui disana.
Itulah kelebihan alkid dibandingkan altar atau aluln-alun utara. Adanya sepeda hias dan beberapa kendaraan dengan bentuk-bentuk menarik seprti kartun-kartun atau hewan-hewan banyak menarik wisatawan asing maupun lokal. Sehingga menambah keramaian di tempat ini. Bahkan, tak jarang pula kutemui satu keluarga lengkap sedang mengendarai kendaraan seperti itu mengelilingi alkid.
“Hm.. boleh boleh.. tapi kamu lho yang di depan..” usulku
“Oke oke.. kamu tuh yaa.. maunya enak-enak aja” gerutu Ufa, kemudian kita ketawa. Sebenarnya nggak begitu lucu, tapi entah kenapa kita sering aja ketawa tanpa sebab. Aneh.
Kita bergegas menuju tempat peminjaman sepeda hias itu. Meminjam sepeda yang tak begitu tinggi. Tahu sendirilah, aku bukan termasuk cewek berbody bagus. Tinggiku tak lebih dari 150 cm. Menyedihkan ya. Tapi ku syukuri saja, jadi fine-fine saja lah dengan keadaan seperti ini, toh, jika di syukuri, semua akan baik-baik saja.
“Yiihaaa..” aku sedikit berteriak kegirangan berada di belakang Ufa yang menjadi sopir. Aku merasa senang sekali mengelilingi alun-alun dengan sepeda hias ini.
Empat putaran telah terlewati, selesai sudah aku berkeliling dengan sepeda ini. Hanya empat putaran saja, aku sudah kelelahan. Begitu turun dari sepeda, aku dan Ufa kembali ke alkid. Duduk di rerumputan untuk melepas lelah.
“Capek juga ya” celetukku
“Iya.. tapi masih mendingan kamu zil, aku lebih capek lagi nih.” Ufa protes,
“Hehe.. iya ya.. bagus.. bagus.. haha”
“Ih, malah ketawa.. seneng ya melihatku menderita.. haha” ketawa lagi. kurasa malam itu kita banyak tertawa.
“Ya sudah, sebagai gantinya, aku traktir kamu wedhang ronde deh”
“Oke oke.. aku nggak nolak rejeki kok, tumben banget ya kamu baik hati begini”
“Baru tau ya, kemana aja kemarin-kemarin? Tiap hari aku baik hati, tidak sombong, rajin menabung kalii”
“Sudah sudah, mules perutku mendengar pengakuanmu tadi”
“Huh! Dasar! Awas kau yaa.. ” aku tertawa, beranjak dari rumput untuk memesan wedhang rode yang ada di tepian alun-alun ini.
“Pak, dua ya, dianter kesana” aku menunjuk tempat dimana Ufa duduk.
“Oh, iya mbak”
Degh!!
Aku menarik nafas sedalam-dalamnya. Agak jauh dari penjual wedhang ronde ini, aku melihat dua sejoli yang sedang menikmati wedhang ronde juga. Sebenarnya wajar-wajar saja ada dua sejoli di tempat ini. Tapi, menjadi tak wajar jika yang berada disana itu dia dan entah dengan siapa itu. Dia itu…. ALBY!!
Aaaarrrrrrggggghhhh!!!!!!!
Aku berterak dalam hati sembari mengumpat. Sakit!! Sakit sekali rasanya. Dia.. dia menghianatiku! Argh!
Kemudian aku kembali menuju tempatku semula. Sebenarnya saat itu juga aku ingin menghampiri dua orang penghianat itu lalu mendampratnya saat itu juga. Tapi kurasa, ini tindakan konyol. Terlebih di tempat umum seperti ini. Akhirnya, dengan berjalan lunglai, kuhampiri Ufa, kemudian aku langsung merangkulnya, dia kebingungan sepertinya lalu balas mendekapku dan mengelus punggungku. Aku menangis sejadi-jadinya di bahu Ufa. Sepertinya dia mampu mengerti aku, jadi dia hanya terdiam membiarkanku larut dalam kesedihanku saja. Dia menungguku hingga tangisku berhenti. Kemudian, kulepaskan pelukanku tadi. Aku masih menangis sesegukan. Tapi setidaknya lebih mendingan setelah aku menumpahkan tangisku pada bahu Ufa hingga terlihat basah seperti itu.
“Sorry ya fa..” kataku lirih dengan suara sedikit serak
“Nggak apa-apa, kamu mau cerita tidak?” aku masih terdiam “aku nggak maksa kamu cerita kok zil, tapi kurasa, kamu bisa lebih sedikit mendingan jika kamu menceritakannya padaku. Aku mau mendengarkan ceritamu kok”
“Fa.. Alby..” kataku lirih. Rasanya aku tak berdaya saat ini, hingga untuk menceritakannya saja pada Ufa, aku tak memiliki daya.
“Alby? Kenapa dengan Alby?”
“Dia ada disana” aku menunjuk satu titik tak jauh di depanku
“Lho.. bagus kan, kenapa tidak kamu hampiri dia?”
“Sepertinya dia telah menemukan penggantiku” kataku dengan nada pasrah
“Hah?!! Yang benar? Mana dia?? Mana?!” Ufa terlihat emosi
Aku menghela nafas, “ya sudahlah, aku ingin mundur saja, mungkin dia memang bukan jodohku fa ” Ufa bingung dengan keputusanku “aku ingin mengakhirinya sekarang saja fa, aku tak ingin lebih terluka dari ini, kamu mau kan mengantarkanku kesana?” Ufa mengangguk lalu kita beranjak berdiri bersamaan dengan datangnya pesanan wedhang rondeku.
“Maaf  bapak, dibawa ke tempat sana saja, sebentar lagi kita kesana” Ufa menunjuk tempat yang sebenarnya telah disediakan oleh penjual wedhang ronde itu. Setelah bapak penjual itu berlalu, aku dan Ufa menghampiri tempat dimana Alby bersama selingkuhannya duduk.
“Maaf mbak, boleh minjem pacarnya? Ini teman saya, ada perlu sebentar” aku berkata pada sosok cantik yang ada di samping Alby. Kehadiranku membuat Alby terkejut. Bahkan, sepertinya dia sampai menahan nafas untuk tidak terlihat kaget.
“Oh, iya.. nggak apa-apa mbak” kata cewek itu ramah. Begitu manisnya cewek ini. Sepertinya aku memang harus mundur. Dia jauh lebih sempurna dari aku. Dan pastinya, dia lebih dicintai Alby daripada aku. Aku kembali menangisi keadaanku sekarang. Menyedihkan.
Aku bersikap tenang ketika berjalan berjajaran dengan Alby. Sedangkan dia, berkali-kali terlihat menghela nafas. Aku tahu, dia pasti gelisah sekali saat ini. Namun aku tidak tahu seberapa besar rasa bersalahnya padaku. aku menggiringnya menuju tak jauh dari tempatnya tadi. Tempat yang tak begitu banyak orang. Dan disitu, yang kulakukan hanya menatapnya. Sesekali dia membalas tatapanku. Lalu, tak berani lagi kurasa.
“Maaf zil.. aku..” dia mulai mengatakan sesuatu, namun, tak sampai dia selesai berkata, aku memotong kata-katanya.
“Tak perlu minta maaf, tak ada yang salah. Hanya keadaan yang slah. Dan kamu juga tak perlu merasa bersalah atau apalah. Aku memang tersakiti sekali dengan yang kamu lakukan di belakangku, tapi, kurasa ini memang resiko menjalin hubungan. Dan aku menerima resiko ini. Aku tak akan balas dendam juga sama kamu. Santai saja, toh, suatu saat kamu pun merasakannya juga. Sekarang, kembali saja kamu ke tempatmu. Kita sudahi saja disini. Aku tak ingin lebih tersakiti lagi” aku mencoba tuk tegar di depannya.
“Zil.. maafkan aku.. aku benar-benar minta maaf, aku bodoh! Bodoh telah melukai kamu. Maafkan aku zil” dia mengatakannya dengan raut wajah besalah.
Aku mengangguk dengan senyum yang kupaksakan. Senyum getir “iya. Makasih buat semuanya” kata-kataku terakhir sebelum aku membalikkan badan dan menghampiri Ufa. Perpisahan kali ini berbeda sekali dengan perpisahanku kemarin-kemarin dengannya. Mungkin, ini perpisahan terakhirku dengannya.
Masih dengan membawa luka, aku mencoba tegar menghadapi penghianatan yang kutemui malam ini. Mungkin, ini jalanku. Alur perjalanan hidupku untuk lebih baik. Ku bisikkan kata-kata itu pada diriku sendiri.
“Hidup ini tak ubahnya sebuah buku. Setiap hari mempunyai satu atau beberapa lembar halaman yang melukiskan petualangan untuk diceritakan. Perjalanan fisik dan mental untuk dipelajari dan dikenang. Baik atau buruk, lukisan itu milikmu, gambaran dirimu sendiri. Seburuk apapun menimpakan tinta hitam diatas lukisan kehidupanmu, sama sekali tak menjernihkan masalah. Justru kian menyuramkan. Dan, sungguh bukan hal yang mudah untuk memulai bab baru.” Kutemukan kata-kata ini dalam sebuah buku karya Suminaring prasojo.
“Mulai hari ini, aku akan membuka bab baru tanpa Alby”

Sept ‘11th
Nashrila akrom
XB

0 komentar:

Posting Komentar