Mewujudkan Kesetaraan Pendidikan Indonesia
Kesetaraan
berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut
kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya
sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau
kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak
lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Sedangkan
pendidikan sendiri memiliki banyak makna, salah satunya yaitu interaksi antara
pendidik dan anak didik dalam mencapai suatu tujuan.
Jadi
bisa ditarik kesimpulan pengertian dari kesetaraan pendidikan Indonesia. Yaitu
menyamakan pendidikan untuk seluruh anak didik di Indonesia. Sekarang yang jadi
permasalahan, bagaimana cara mewujudkan kesetaraan pendidikan Indonesia
tersebut?
Telah
diketahui dari berbagai media massa maupun media cetak, bahwa kerap kali
pemerintah mencanangkan ataupun merencanakan ribuan cara untuk mengentaskan
anak-anak Indonesia yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Yang kita ketahui
juga hanya sedikit pengaruhnya, atau bahkan tidak berpengaruh. Kasarannya,
tidak berhasil.
Mendengar
kata kesetaraan pendidikan Indonesia, pikiran kita akan langsung tertumbuk pada
anak-anak usia sekolah yang bertebaran di jalanan kota atau di sudut-sudut desa
terpencil dan kumuh. Yang kemungkinan besar tidak pernah menyentuh pendidikan
di bangku sekolah. Melihat realita seperti itu, beberapa mahasiswa atau
siapapun itu yang terketuk hatinya akan langsung berpikir keras, bagaimana
caranya agar mereka dapat bersekolah. Minimal mereka memiliki bekal pendidikan
untuk hidupnya kelak. Hingga seringkali kita lihat adanya sekolah gratis di
lingkungan tersebut. Entah itu akan menuai hasil atau tidak, mereka hanya bisa
terus berusaha.
Nah,
itu baru segelintir dari tindakan untuk mengentaskan kebutaan pendidikan di
kalangan keluarga kurang mampu. Masih banyak hal kecil yang dapat kita lakukan
untuk mensetarakan pendidikan untuk kaum menengah ke bawah itu dengan hal-hal
kecil, misalkan dengan membuka perpustakaan kecil-kecilan atau membuka sekolah
keterampilan sehingga dapat langsung mengaplikasikan apa yang di ajarkan
disana. Sehingga akan terasa langsung manfaatnya.
Seluruh tindakan yang terurai diatas itu masih dalam kategori tindakan kecil dan belum sesuai standar pendidikan. Yang artinya masih belum bisa menyetarakan pendidikan Indonesia. Lantas, bagaimana yang harus dilakukan selanjutnya?
Kenaikan
harga BBM beberapa tahun terakhir ini yang diikuti dengan kenaikan harga
kebutuhan pokok lainnya, akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin.
Termasuk dalam menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan
yang ada di sekitarnya. Ditambah lagi dengan biaya sekolah akhir-akhir ini yang
harganya setinggi langit. Ini terjadi karena adanya komersialisasi pendidikan
oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sehingga masyarakat Indonesia
menganggap bahwa sekolah yang berkualitas itu harus mahal. Anggapan tersebut
pelan-pelan harus diperbaiki dengan adanya upaya keras dari pemerintah untuk
memberi peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam menyelenggarakan
pendidikan yang murah dan berkualitas.
Hak
memperoleh fasilitasi pendidikan seharusnya dijamin melalui subsidi negara
secara berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak. Namun, karena
minimnya alokasi anggaran negara untuk program pendidikan menyebabkan dampak
buruk bagi komitmen pemerintah dalam memfasilitasi hak anak-anak miskin untuk memperoleh
pendidikan yang layak. Sehingga akan semakin banyak anak-anak usia sekolah yang
tidak meneruskan sekolah.
Data
riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan realitas tidak
meneruskan sekolah bagi anak- anak dari keluarga miskin makin meningkat
persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang keluar sekolah ketika
duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang tidak
melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen. Sementara
anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang keluar sekolah ketika memasuki
bangku usia sekolah menengah pertama mencapai 18,3 persen, dan yang tidak
meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah
pertama mencapai 29,5 persen.
Disini
pemerintah sangatlah dibutuhkan. Karena pemerintah yang memiliki peran penuh
terhadap dunia pendidikan di Indonesia ini. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa “setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar.” Konsekuensi dari amanat undang-undang
tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh
masyarakat tanpa kecuali, khususnya peserta didik pada tingkat pendidikan dasar
(SD/MI dan SMP/MTs) serta satuan pendidikan yang sederajat. Namun pada
realitanya, pemerintah belum dapat secara maksimal menjalankan amanat tersebut.
Salah
satu bukti fakta dari belum berhasilnya dapat dilihat dari belum tuntasnya
program wajib belajar 9 tahun. Apalagi program wajib belajar yang 12 tahun.
Salah satu indikator penuntasan program wajib belajar 9 tahun bisa diukur
dengan Angka Partisipasi Kasar (APK). Pada tahun 2005, APK tingkat SMP sebesar
85,22% dan pada akhir 2006 telah mencapai angka 88,68%. Target penuntasan
Wajib Belajar 9 tahun harus dicapai pada tahun 2008/2009 dengan APK minimum 95%
(Ini versi Diknas). Dengan demikian, pada saat ini masih ada sekitar 1,5 juta
anak-anak usia 13-15 tahun yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan
dasar (data Diknas tahun 2008/2009). Namun kalau kita melihat kondisi riil di
masyarakat saat sekarang, mungkin angkanya akan lebih besar lagi, apalagi kalau
kita menyisir masyarakat pedalaman dan yang tinggalnya di daerah-daerah yang
sulit terjangkau oleh transportasi. Bahkan ada kemungkinan target
itu akan meleset. Oleh karenanya, tugas kita sebagai masyarakat harus ikut
memberi kontribusi dalam menuntaskan program Wajib belajar Dikdas 9 Tahun ini.
Mengingat masih banyak anak-anak usia sekolah yang masih belum terjaring oleh
sekolah dengan berbagai alasan masing-masing.
Memang
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bukan melulu di pundak pemerintah,
akan tetapi masyarakat pun bisa memberikan kontribusi dalam mewujudkan
kebijakan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tersebut di atas. Itu pula yang
pernah disampaikan oleh Bapak Pendidikan kita almarhum Ki Hajar Dewantoro: “ Tanggung jawab pendidikan ada di tiga
elemen, 1) Pemerintah, 2) Keluarga, dan 3) Masyarakat.” Yang kita kenal
dengan istilah “ Tri Pusat Pendidikan.”
0 komentar:
Posting Komentar