Selasa, 01 Mei 2012

esai_mewujudkan kesetaraan pendidikan Indonesia


Mewujudkan Kesetaraan Pendidikan Indonesia

Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Sedangkan pendidikan sendiri memiliki banyak makna, salah satunya yaitu interaksi antara pendidik dan anak didik dalam mencapai suatu tujuan.
Jadi bisa ditarik kesimpulan pengertian dari kesetaraan pendidikan Indonesia. Yaitu menyamakan pendidikan untuk seluruh anak didik di Indonesia. Sekarang yang jadi permasalahan, bagaimana cara mewujudkan kesetaraan pendidikan Indonesia tersebut?
Telah diketahui dari berbagai media massa maupun media cetak, bahwa kerap kali pemerintah mencanangkan ataupun merencanakan ribuan cara untuk mengentaskan anak-anak Indonesia yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Yang kita ketahui juga hanya sedikit pengaruhnya, atau bahkan tidak berpengaruh. Kasarannya, tidak berhasil.
Mendengar kata kesetaraan pendidikan Indonesia, pikiran kita akan langsung tertumbuk pada anak-anak usia sekolah yang bertebaran di jalanan kota atau di sudut-sudut desa terpencil dan kumuh. Yang kemungkinan besar tidak pernah menyentuh pendidikan di bangku sekolah. Melihat realita seperti itu, beberapa mahasiswa atau siapapun itu yang terketuk hatinya akan langsung berpikir keras, bagaimana caranya agar mereka dapat bersekolah. Minimal mereka memiliki bekal pendidikan untuk hidupnya kelak. Hingga seringkali kita lihat adanya sekolah gratis di lingkungan tersebut. Entah itu akan menuai hasil atau tidak, mereka hanya bisa terus berusaha.
Nah, itu baru segelintir dari tindakan untuk mengentaskan kebutaan pendidikan di kalangan keluarga kurang mampu. Masih banyak hal kecil yang dapat kita lakukan untuk mensetarakan pendidikan untuk kaum menengah ke bawah itu dengan hal-hal kecil, misalkan dengan membuka perpustakaan kecil-kecilan atau membuka sekolah keterampilan sehingga dapat langsung mengaplikasikan apa yang di ajarkan disana. Sehingga akan terasa langsung manfaatnya.

Seluruh tindakan yang terurai diatas itu masih dalam kategori  tindakan kecil dan belum sesuai standar pendidikan. Yang artinya masih belum bisa menyetarakan pendidikan Indonesia. Lantas, bagaimana yang harus dilakukan selanjutnya?
Kenaikan harga BBM beberapa tahun terakhir ini yang diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya, akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin. Termasuk dalam menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di sekitarnya. Ditambah lagi dengan biaya sekolah akhir-akhir ini yang harganya setinggi langit. Ini terjadi karena adanya komersialisasi pendidikan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sehingga masyarakat Indonesia menganggap bahwa sekolah yang berkualitas itu harus mahal. Anggapan tersebut pelan-pelan harus diperbaiki dengan adanya upaya keras dari pemerintah untuk memberi peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan yang murah dan berkualitas.
Hak memperoleh fasilitasi pendidikan seharusnya dijamin melalui subsidi negara secara berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak. Namun, karena minimnya alokasi anggaran negara untuk program pendidikan menyebabkan dampak buruk bagi komitmen pemerintah dalam memfasilitasi hak anak-anak miskin untuk memperoleh pendidikan yang layak. Sehingga akan semakin banyak anak-anak usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah.
Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak- anak dari keluarga miskin makin meningkat persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang keluar sekolah ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen. Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang keluar sekolah ketika memasuki bangku usia sekolah menengah pertama mencapai 18,3 persen, dan yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah pertama mencapai 29,5 persen.
Disini pemerintah sangatlah dibutuhkan. Karena pemerintah yang memiliki peran penuh terhadap dunia pendidikan di Indonesia ini. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa “setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.” Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali, khususnya peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) serta satuan pendidikan yang sederajat. Namun pada realitanya, pemerintah belum dapat secara maksimal menjalankan amanat tersebut.
Salah satu bukti fakta dari belum berhasilnya dapat dilihat dari belum tuntasnya program wajib belajar 9 tahun. Apalagi program wajib belajar yang 12 tahun. Salah satu indikator penuntasan program wajib belajar 9 tahun bisa diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK). Pada tahun 2005, APK tingkat SMP sebesar 85,22%  dan pada akhir 2006 telah mencapai angka 88,68%. Target penuntasan Wajib Belajar 9 tahun harus dicapai pada tahun 2008/2009 dengan APK minimum 95% (Ini versi Diknas). Dengan demikian, pada saat ini masih ada sekitar 1,5 juta anak-anak usia 13-15 tahun yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan dasar (data Diknas tahun 2008/2009). Namun kalau kita melihat kondisi riil di masyarakat saat sekarang, mungkin angkanya akan lebih besar lagi, apalagi kalau kita menyisir masyarakat pedalaman dan yang tinggalnya di daerah-daerah yang sulit  terjangkau oleh transportasi.  Bahkan ada kemungkinan target itu akan meleset. Oleh karenanya, tugas kita sebagai masyarakat harus ikut memberi kontribusi dalam menuntaskan program Wajib belajar Dikdas 9 Tahun ini. Mengingat masih banyak anak-anak usia sekolah yang masih belum terjaring oleh sekolah dengan berbagai alasan masing-masing.
Memang tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bukan melulu di pundak pemerintah, akan tetapi masyarakat pun bisa memberikan kontribusi dalam mewujudkan kebijakan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tersebut di atas. Itu pula yang pernah disampaikan oleh Bapak Pendidikan kita almarhum Ki Hajar Dewantoro: “ Tanggung jawab pendidikan ada di tiga elemen, 1) Pemerintah, 2) Keluarga, dan 3) Masyarakat.” Yang kita kenal dengan istilah “ Tri Pusat Pendidikan.”

0 komentar:

Posting Komentar